Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Filter, AI, dan AR Mengubah Cara Kita Melihat Diri



Dunia kecantikan tak lagi hanya tentang skincare, makeup, atau perawatan kulit. Kini, teknologi ikut membentuk cara kita memandang diri sendiri dan ini terjadi secara masif namun nyaris tak disadari.

Di era digital ini, aplikasi seperti TikTok, Instagram, dan Snapchat tak hanya menjadi tempat berbagi, tapi juga membentuk standar kecantikan baru melalui filter wajah yang secara instan bisa membuat kulit tampak halus, bibir lebih penuh, dan mata lebih besar. Tak heran, muncul istilah baru: “filtered beauty” atau kecantikan digital.

Filter Bukan Lagi Sekadar Hiburan

Filter awalnya digunakan untuk lucu-lucuan. Tapi kini, mereka menjadi alat yang secara halus tapi konsisten mengubah persepsi diri, terutama di kalangan remaja. Banyak yang merasa lebih percaya diri saat menggunakan filter, namun merasa minder ketika melihat wajah aslinya di cermin tanpa "bantuan" teknologi.

Hal ini melahirkan fenomena yang disebut para psikolog sebagai “Snapchat Dysmorphia”, yaitu kondisi di mana seseorang ingin mengubah wajahnya agar menyerupai versi dirinya di filter. Sebuah tekanan yang muncul diam-diam, namun berdampak nyata pada kesehatan mental.

AI dan Augmented Reality: Membantu atau Menyesatkan?

Teknologi seperti AI skin analyzer dan virtual try-on sudah banyak digunakan oleh brand kecantikan. Dengan kamera smartphone, kita bisa menganalisis kondisi kulit dan mencoba makeup tanpa menyentuh wajah.

Ini tentu memudahkan konsumen. Tapi di sisi lain, banyak yang mulai mengandalkan teknologi untuk menilai kecantikan mereka sendiri, dan merasa kecewa ketika hasil di kehidupan nyata tak semulus tampilan digital.

Standar Kecantikan Baru yang Tak Terlihat

Sadar atau tidak, dunia digital menciptakan standar baru: kulit flawless tanpa pori, wajah simetris, dan fitur yang mendekati “AI-perfect”. Padahal, di dunia nyata, pori-pori, garis halus, dan tekstur kulit adalah hal normal bagian dari kemanusiaan kita.

Ironisnya, di saat gerakan “self-love” dan “natural beauty” sedang digaungkan, algoritma di balik platform digital justru mendorong kita untuk tampil sempurna secara visual.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

1. Pahami bahwa filter adalah ilusi. Mereka didesain untuk menyenangkan mata, bukan mencerminkan realitas.


2. Jadikan skincare dan makeup sebagai bentuk perawatan diri, bukan pelarian dari tekanan digital.


3. Ikuti akun yang mempromosikan kecantikan alami dan keberagaman wajah, bukan hanya visual sempurna.


4. Ajarkan generasi muda tentang literasi digital kecantikan sejak dini.


Teknologi memang bisa menjadi sahabat dalam dunia kecantikan. Namun, jika tak disikapi dengan bijak, ia bisa menciptakan standar tak realistis yang menghantui kepercayaan diri kita. Kecantikan seharusnya membebaskan, bukan membebani.

Mari bersama-sama membangun ekosistem kecantikan digital yang lebih manusiawi, jujur, dan merayakan keunikan setiap individu  baik di depan kamera, maupun di dunia nyata.

Posting Komentar untuk "Ketika Filter, AI, dan AR Mengubah Cara Kita Melihat Diri"